Cermin Realitas dalam Tokoh Haji Iman
4 jam lalu
Kritik sastra atas cerpen “Bagaimana Pak Tua Itu Menemukan Jalan Pulang” karya Yoga Zen
Bagaimana Pak Tua Itu Menemukan Jalan Pulang merupakan salah satu cerpen yang di ciptakan oleh Yoga Zen dan dipublikasikan di Koran Tempo pada 7 Juli 2024. Cerpen ini menarik perhatian pembaca karena kisahnya yang sederhana namun penuh makna yang tersirat di dalamnya.
Dikenal sebagai penulis yang kerap mengangkat persoalan hidup sehari-hari, Yoga Zen berhasil menciptakan pengalaman biasa tampak penuh makna. Penggunaan gaya tutur yang santai dan sederhana, ia dapat menghadirkan tokoh-tokoh yang tidak jauh gambaranya dari kehidupan sekitar, namun menyimpan konflik batin yang mendalam sekaligus relevan bagi pengalaman manusia secara luas.
Cerpen Bagaimana Pak Tua Itu Menemukan Jalan Pulang menghadirkan beberapa tokoh, yaitu Ajo Pakak, Haji Man, pemilik toko, bos dari si pencerita, dan tokoh “aku” yang berperan sebagai narator. Cerpen ini menggunakan sudut pandang orang pertama, tetapi tokoh “aku” tidak digambarkan secara jelas sebagai manusia atau tokoh tertentu.
Berdasarkan narasinya, dapat diasumsikan bahwa tokoh “aku” kemungkinan adalah seekor hewan peliharaan, sebab ia menyebut dirinya tidak dapat berlari ke sana kemari dan sering berpindah tempat sesuai kehendak majikannya. Melalui gaya penceritaan yang unik ini, cerpen tersebut menampilkan potret kehidupan manusia yang sarat makna, terutama dalam menggambarkan realitas sosial dan moral yang masih relevan dengan kondisi masyarakat masa kini.
Dalam cerpen ini hadir tokoh bernama Man atau Haji Man. Ia digambarkan sebagai pemilik toko kelontong yang baru pulang dari tanah suci, lalu memperoleh gelar haji. Sepulangnya dari sana, ia berusaha menampilkan citra religius dengan tidak lagi menjual minuman beralkohol maupun bersoda, karena dianggap haram. Akan tetapi, kenyataannya ia tetap menjual minuman tersebut dengan harga setengah; seolah mencari pembenaran demi keuntungan pribadi.
Tokoh Haji Man mencerminkan realitas kehidupan sehari-hari, yakni orang-orang yang merasa bangga dan sombong dengan gelar atau status yang dimiliki, tetapi tidak sejalan dengan sikap dan perbuatannya. Mereka kerap berbicara tentang larangan atau nilai moral tertentu, namun tetap melanggarnya dengan berbagai alasan. Selain itu, Haji Man juga digambarkan kurang peduli terhadap sesama; sebuah perilaku yang masih sering ditemui di masyarakat sekarang, ketika banyak orang mulai kehilangan rasa empati.
Sikap kontradiktif Haji Man tampak jelas dalam kesehariannya. Di satu sisi, ia ingin menampilkan citra religius setelah pulang dari Tanah Suci dengan menolak menjual minuman beralkohol dan bersoda karena dianggap haram. Namun, pada kenyataannya ia tetap melepas minuman tersebut dengan setengah harga, seolah-olah mencari pembenaran demi keuntungan pribadi. Hal ini tercermin dalam kutipan:
“Pemiliknya, lelaki setengah baya bernama Man, secara sadar baru saja menambah gelar keagamaan pada nama toko itu tak lama setelah pulang dari Tanah Suci. Tidak hanya itu, dia bahkan tak mau lagi menjual minuman beralkohol dan bersoda. ‘Haram!’ katanya kepada majikanku. Demikianlah semua kerat-kerat stok bir dan minuman bersoda diberikan kepada majikanku. Kukira itu cuma-cuma, tapi Haji Man malah melepasnya setengah harga.”
Lebih jauh lagi, ia juga digambarkan kurang memiliki rasa empati terhadap orang lain, seperti saat menghindari Ajo Pakak dengan menutup tokonya lebih cepat. Hal ini diperlihatkan dalam penggalan berikut:
“Meskipun Ajo Pakak sering duduk menunggu tumpangan di sana, aku belum pernah melihatnya bercakap-cakap dengan si pemilik tempat. Sebaliknya, aku sering memperhatikan Haji Man menutup toko lebih cepat apabila Ajo Pakak duduk di sana.”
Dari kedua kutipan tersebut, jelas terlihat bahwa Haji Man adalah tokoh yang tidak konsisten antara ucapan dan tindakan, sekaligus kurang peka terhadap sesama.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh Haji Man dalam cerpen “Bagaimana Pak Tua Itu Menemukan Jalan Pulang” merupakan cermin realitas sosial yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Ia menampilkan kontradiksi antara ucapan dan tindakan, sekaligus memperlihatkan berkurangnya empati terhadap orang lain. Melalui tokoh ini, Yoga Zen berhasil menyingkap sisi rapuh manusia yang sering kali terjebak dalam kepura-puraan moral dan kebanggaan semu atas status sosial atau religius. Dengan demikian, cerpen ini tidak hanya menghadirkan potret kehidupan sederhana di sebuah kampung, tetapi juga mengingatkan pembaca akan pentingnya kejujuran, konsistensi, dan kepedulian dalam menjalani hidup.
Baca Juga
Artikel Terpopuler